Skip to main content
http://smaim.sch.id/psb

Rekan-rekan sahabat guru! Saya ingin mengingatkan diri dan sahabat guru di manapun berada. Kalau kita sebagai guru, tapi kita tidak menjiwai atau ruh kita tidak hadir saat membersamai murid, maka kita tidak bedanya seperti AC yang kehabisan freon.

Apa maksud AC yang kehabisan freon? Ya, bendanya ada, suara mesinnya terdengar, anginnya berhembus, tapi tidak membuat suhu ruangan sesuai dengan yang diinginkan. Artinya, adanya AC percuma, tidak bisa mendinginkan ruangan.

Menjadi Guru itu butuh kehadiran jiwa sehingga dia mampu menciptakan lingkungan yang bersahabat. Guru itu harus menghadirkan hati dan pikiran agar lingkungan belajar terasa nyaman, suasana gembira bisa dirasakan oleh semua, komunikasi akan lebih ramah dan hangat.

Sebaliknya, jika seorang guru hadir mengajar tanpa kehadiran ruh atau jiwa, maka suasana lingkungan belajar pasti bermasalah. Efeknya, murid tidak bisa menyerap ilmu dengan baik. Sebab, kehadiran jiwa dalam beraktivitas akan menjadikan hati menerima dan juga menikmatinya.

Tanggung Jawab Guru Sebagai Pendidik

Pada dasarnya aktivitas mengajar itu tugas personal guru dalam masing-masing mata pelajaran yang diampu. Sekilas tugasnya memang hanya mentransfer ilmu kepada murid. Tapi, tujuan dari pendidikan tidak berhenti sebatas itu. Dalam proses mengajar, seorang guru juga harus bisa mentrasfer nilai-nilai moral serta penanaman karakter pada peserta didik. Maka, sekali lagi, tugas guru tidak hanya sebatas pengajar. Tapi juga sebagai pendidik yang benar-benar memiliki visi misi untuk mengubah pola pikir dan penanaman karakter pada setiap anak didik.

Jadilah guru yang bervisi mendidik. Sebab, hanya para pendidiklah yang menjiwai saat membersamai peserta didik. Ia tidak hanya sebatas menggunakan logika dan pikiran semata. Namun, ia terus berproses menjadi lebih baik, menjadi teladan agar nanti dicontohi oleh para murid.

Makna menjiwai di sini adalah ikhlas dalam mengajar dan tidak mengenal sekat waktu untuk mendidik. Sebagaimana saya katakan tadi, jika guru menyampaikan dengan hati maka akan diterima juga oleh hati. Memberikan contoh nyata dalam mendidik itu lebih penting dan jauh lebih efektif. 

Begitu juga sebaliknya, jika guru hanya berkoar-koar, penyampaian berapi-api, masuk kelas hanya sebagai tugas ngajar sebatas transfer ilmu, tidak peduli bagaimana situasi hati murid, maka apa yang disampaikan tidak membawa  efek sama sekali. Retorikanya hanya sekadar masuk dari telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. Artinya, apa yang disampaikan kepada murid akan dilupakan begitu saja.

Kasih Sayang dalam Mendidik

Tentu tidak mudah menjadi guru yang bisa menjiwai dan mendidik dengan hati. Sebab, ia sedang menjalankan tugas besar, yaitu memanusiakan manusia, memberantas kemiskinan moral dan ilmu pengatahuan. Tentu usaha yang dilakukan tidak cukup hanya mengandalkan materi bagus, komunikasi efektif, tapi juga dibutuhkan ketulusan hati, kelembutan, dan penuh kasih sayang.

Jika kita melihat kilas balik, sepak terjang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dakwah, maka kita akan mendapatkan catatan sejarah tentang bagaimana kasih sayang Nabi dalam berdakwah. Dalam mengajak umatnya, beliau menjadi pendidik yang berhati lembut dan penuh kasih sayang. Cintanya yang begitu dalam sangat berkesan walaupun mendapatkan perlakuan kasar dari para kaumnya. Di antara sekian banyak contoh adalah ketika berdakwah di Thaif. Beliau dilempari dengan bebatuan oleh penduduk Tha’if hingga kakinya bengkak bersimbah darah.

Perbuatan penduduk thaif membuat Allah murka dan menawarkan kepada Nabi Muhammad bahwa Allah akan menghancurkan mereka dengan gunung. Namun akhlak mulia dan rasa simpatinya, Rasulullah justru berdoa, “Ya Allah, anugerahkanlah hidayah kepada kaumku; sesungguhnya mereka tidak tahu.” Kata-kata bersejarah ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Rasulullah dalam berdakwah.

Maka sangatlah mulia menjadi seorang guru yang hadir dengan hati penuh kasih saying. Ia bisa mendatangkan kenyamanan bagi peserta didik. Kehadirannya membawa sejuta makna bagi lingkungan sekitar, dan ketiadaannya dirindukan sepanjang masa.

Kesimpulannya, kita harus menjadi guru yang bisa mendidik dengan sepenuh hati. Karena hati hanya bisa disentuh dengan hati juga. Sehebat apapun retorika itu, kalau tidak disampaikan dengan hati dan rasa kasih sayang kepada peserta didik maka hasilnya pasti nihil, sia-sia tidak ada guna. maka hadirkanlah hati dan jiwa didikmu agar nanti  betul-betul tercapai tujuan yang diharapkan.

Ingat! Jadi guru jangan seperti AC yang kehabisan freon.

Penulis : Reza (DEA Academi)

smaim.sch.id/psb