Oleh : Khoirunnisak Tri Mustofa, S.H
SAMARINDA– Scroll timeline media sosialmu hari ini. Selain meme dan video lucu, apa yang kamu lihat? Kemungkinan besar, kamu akan menemui cuitan bernada sinis, storry Instagram penuh kritik, atau reels TikTok menyindir para “tikus berdasi” yang menjadi wakil rakyat di gedung DPR/MPR yang megah itu. Suasana hati warganet, khususnya anak muda, terhadap DPR dan Pemerintah sedang tidak baik-baik saja. Ada rasa geram yang mengendap, yang setiap saat bisa meledak lewat unggahan digital atau bahkan turun ke jalan. Ini bukan sekadar emosi sesaat, tapi akumulasi dari rasa lelah melihat drama politik yang tak ada ujung, sementara harga sembako meroket dan lapangan kerja seakan jadi mimpi.
Bukan rahasia lagi, kepercayaan publik terhadap institusi DPR dan sebagian kebijakan pemerintah sedang berada di titik nadir. Lembaga survei manapun kamu percaya, angkanya bergidik. Yang dirasakan di jalanan jauh lebih nyata daripada sekadar grafik di atas kertas. Ketimpangan Jauh dari Rakyat Viralnya gambar anggota dewan dengan jam mewah, tas branded, atau mobil mewah di tengah jeritan ekonomi rakyat, bahkan baru – baru ini DPR berjoget dan bergembira ria atas tunjangan yang dinaikkan ditengah rakyat yang sedang kesakitan. Kejadian itu merupakan pukulan telak dan simbol ketimpangan yang nyata dan terasa sangat memilukan.
Kinerja Legislasi yang Dipertanyakan
Publik bertanya-tanya, UU apa saja sih yang benar-benar lahir untuk meringankan beban rakyat kecil akhir-akhir ini? Yang sering terdengar justru RUU yang kontroversial dan dinilai menguntungkan segelintir kelompok.
Skandal Korupsi yang Tak Kunjung Usai
Setiap ada kasus korupsi baru yang melibatkan pejabat atau anggota dewan, luka kepercayaan itu terbuka lagi. Rakyat merasa pemerintah tidak serius mengatasi masalah korupsi ini bahkan kebanyakan “maling negara” ini seringkali dapat kemudahan. Karena itu rakyat berulang kali dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya memperjuangkan uang dan hak mereka.
Respons yang Lambat dan Tidak Empatik
Ketika harga cabai atau bawang melambung, respons pemerintah sering kali terasa lambat dan tidak menyentuh akar masalah, bahkan seringkali mengeluarkan statment yang melukai hati rakyat, ketika harga minyak melambung rakyat disuruh makan yang rebus-rebusan, dan masih banyak pernyataan-pernyataan yang muncul kadang terasa jauh dari realita yang dialami ibu-ibu di pasar.
Anak Muda: dari Apolitik ke Aspiratif
Yang menarik, gelombang kegeraman ini justru memolitisasi anak muda yang sebelumnya acuh. Mereka mungkin malas ikut organisasi kepartaian, tapi mereka sangat melek informasi.
Mereka menggunakan platformnya untuk bersuara. TikTok jadi senjata untuk kritik sosial lewat video pendek. Twitter jadi ruang debat yang panas. Instagram jadi papan pengumuman untuk menyindir.
Mereka tidak lagi hanya demo bakar ban di jalanan. Mereka melakukan digital protest. Petisi online, thread Twitter yang viral, dan hashtag yang trending adalah bentuk protes zaman now. Itu adalah cara mereka mengatakan, “Kami mengawasi kalian.”
Apa yang Sebenarnya Mereka Minta?
Permintaan generasi muda sebenarnya sederhana, tapi sangat mendasar:
Transparansi: Mereka ingin tahu uang rakyat dipakai untuk apa dan oleh siapa. Mereka mendorong keterbukaan data anggaran hingga ke level yang paling detail.
Akuntabilitas: Jika ada yang salah, ada yang harus bertanggung jawab. Tidak ada lagi “diperiksa” lalu hilang berita nya. Mereka ingin hasil, bukan proses yang berbelit.
Koneksi: Mereka ingin para wakil rakyatnya melek digital, benar-benar mendengar keluhan dari akar rumput, dan tidak hanya muncul saat mendekati pemilu. Mereka ingin politisi yang relatable, bukan yang berjarak.
Kebijakan yang Pro-Masa Depan: Isu seperti lingkungan hidup (climate change), ekonomi kreatif, dan kesetaraan hak adalah hal yang sangat mereka perhatikan. Mereka ingin UU yang melindungi masa depan mereka, bukan mengancamnya.
Lalu, Ke Mana Arah Angin Ini Berhembus?
Kegeraman ini tidak akan serta merta hilang. Ia adalah alarm. Alarm bahwa ada yang salah dalam hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Pemerintah dan DPR punya pekerjaan rumah besar, merebut kembali kepercayaan yang telah rontok itu. Caranya bukan dengan pencitraan, tapi dengan kerja nyata yang bisa dirasakan rakyat.
Bagi anak muda, keadaan ini adalah ujian. Apakah kegeraman ini akan berubah menjadi energi untuk terlibat lebih dalam, misalnya dengan masuk ke dalam sistem politik untuk memperbaikinya? Atau akan berubah menjadi apatis yang lebih dalam, yang justru berbahaya untuk masa depan demokrasi.
Satu pesan yang jelas terdengar dari generasi muda ini: “Kami tidak bodoh. Kami mengawasi. Dan suara kami akan kalian dengar, baik melalui jari-jari kami di media sosial, atau melalui kotak suara pada waktunya nanti.”