Oleh: Arip Saripudin, S.Pd.I., M.A., Ph.D
Pendahuluan: Takyīf Fiqhī (Klasifikasi Akad)
Masalah hukum lomba dengan hadiah dari iuran peserta pada dasarnya termasuk wilayah mu‘āmalāt (transaksi sosial), yang kaidah asalnya adalah al-aṣl fī al-mu‘āmalāt al-ibāḥah—hukum asal muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. Titik krusialnya ialah: apakah skema iuran itu menyerupai qimār (perjudian)—yakni sebagian peserta kehilangan harta, lalu berpindah kepada pemenang—atau ia merupakan tabarru‘ (sumbangan) yang dipakai memeriahkan hajat bersama dan menghadirkan kemanfaatan umum, sehingga tidak ada “kehilangan” yang menjadi “keuntungan” pihak lain.
Dalil Al-Qur’an
Dua prinsip Al-Qur’an paling relevan adalah larangan memakan harta secara batil dan perintah tolong-menolong dalam kebaikan. Allah Ta‘ālā berfirman:
“Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Ayat ini menjadi landasan umum untuk menutup jalan setiap pola pengalihan harta tanpa haq. Jika iuran peserta dikontruksi sehingga yang kalah “kehilangan” dan kerugian itu menjadi “hadiah” bagi pemenang, maka skema ini berkelindan dengan al-akl bi al-bāṭil.
“Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan.” (QS. Al-Mā’idah: 2).
Bila lomba bertujuan mempererat ukhuwah, memeriahkan hari kemerdekaan, menumbuhkan sportivitas dan kegembiraan warga—semua itu masuk kategori al-birr, selama tidak terselip unsur yang dilarang. Maka, bila iuran diniatkan dan diatur sebagai sumbangan bersama untuk kemaslahatan acara (dekorasi, konsumsi, perlengkapan), ia sejalan dengan perintah ta‘āwun.
Dalil Sunnah
Sunnah menutup pintu perjudian dan sekaligus memberi rukhshah (pengecualian) pada jenis perlombaan yang membawa kemaslahatan nyata.
Larangan perjudian. Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa berkata kepada saudaranya: ‘Kemarilah, kita berjudi!’ maka hendaklah ia bersedekah.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim).
Makna larangan tidak hanya pada lafaz ajakan, tetapi pada substansi akad: perpindahan harta dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang karena spekulasi (mukhāṭarah) murni.
Bolehnya perlombaan tertentu dengan hadiah. Sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada (pengambilan) hadiah lomba kecuali pada (perlombaan) unta, kuda, dan memanah.” (HR. Abū Dāwūd, at-Tirmiżī).
Mayoritas fuqahā’ memahami hadis ini secara ta‘līlī (bermotif illat): karena tiga lomba itu melatih keterampilan strategis (maslahah ‘āmmah). Dari sini, ulama menata prinsip: hadiah lomba boleh jika sumbernya bukan dari pihak yang “berisiko kalah”, tetapi dari pihak ketiga (sponsor/donatur/panitia) atau dari salah satu pihak tanpa kewajiban timbal-balik—sehingga unsur qimār hilang.
Penjelasan Ulama
Ulama mazhab menegaskan pembedaan antara hadiah dari “pihak luar” dan hadiah yang bersumber dari “pihak yang terlibat spekulasi.”
Ibnu Qudāmah menjelaskan: bila hadiah datang dari pihak ketiga, atau dari salah satu pihak tanpa tarikan dari pihak lawan, maka boleh; namun jika dua pihak sama-sama menyetor dan harta yang kalah berpindah ke yang menang, itu qimār (al-Mughnī).
An-Nawawī merumuskan kaidah serupa dalam al-Majmū‘: setiap perlombaan yang menghadirkan pengambilan harta dari pihak yang kalah adalah terlarang, kecuali yang dikecualikan syariat atau yang illat-nya adalah maslahah dan sumber hadiahnya bukan dari kerugian peserta lain.
Ulama kontemporer mengikuti benang merah ini: lomba-lomba hiburan pada dasarnya mubah selama akad hadiahnya tidak mengandung unsur taruhan; idealnya hadiah bersumber dari donatur, sponsor, kas RT/RW/masjid, atau pos panitia yang sejak awal didefinisikan sebagai tabarru‘ umum—bukan “taruhan peserta.”
Kaidah Fikih Terkait
الأصل في المعاملات الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Asal hukum muamalah adalah boleh hingga ada dalil yang mengharamkan.”
الضرر يزال dan لا ضرر ولا ضرار
“Mudarat harus dihilangkan; tidak boleh membahayakan dan saling membahayakan.”
Kaidah ini menolak format lomba yang menimbulkan kerugian finansial sepihak demi keuntungan pihak lain.
الغنم بالغرم
“Keuntungan itu sepadan dengan risiko.” Dalam qimār, keuntungan pemenang identik dengan kerugian peserta lain—maka tertolak.
العادة محكمة
“Kebiasaan yang baik dapat menjadi pertimbangan hukum.” Tradisi memeriahkan 17 Agustus dapat dinilai ma‘rūf selama tata kelolanya syar‘i dan transparan.
Takyīf dan Rambu Praktis untuk Panitia
Agar terhindar dari qimār, struktur akad perlu dibuat jelas:
Niat dan akad tabarru‘, bukan taruhan. Iuran ditetapkan sebagai sumbangan sosial untuk seluruh rangkaian acara (dekorasi, konsumsi, sewa alat, hadiah, doorprize). Hindari redaksi atau praktik yang membuat seakan-akan “yang kalah mensubsidi kemenangan orang lain.”
Pemisahan pos dana. Panitia membuat pos hadiah yang bersumber dari donatur/sponsor/kas lingkungan. Iuran peserta diprioritaskan untuk biaya penyelenggaraan umum. Jika sebagian iuran dialokasikan ke hadiah, tegaskan bahwa itu hibah kolektif untuk memeriahkan acara bersama (bukan setoran ‘taruhan’ peserta).
Manfaat merata. Pastikan seluruh peserta/keluarga mendapat manfaat nyata dari iuran: konsumsi bersama, suvenir umum, fasilitas permainan anak, panggung hiburan, kebersihan, keamanan. Dengan begitu, tidak ada “pihak kalah” yang menanggung kerugian demi “pihak menang.”
Sumber hadiah utama dari pihak ketiga. Idealnya, hadiah berasal dari sponsor atau donatur. Ini segera mengangkat syubhat, sebab hadiah tidak berasal dari kerugian pihak manapun.
Transparansi & kepatutan. Laporkan pemasukan-pengeluaran, tetapkan aturan lomba yang adil, hindari unsur maksiat (ikhtilāṭ yang tidak terjaga, aurat terbuka, mubādzarah, ucapan kotor, atau permainan berbahaya).
Kesimpulan Hukum
Mubah (boleh) mengadakan lomba 17 Agustusan dengan hadiah, selama struktur pendanaannya tidak menyerupai qimār. Bentuk paling aman: hadiah dari pihak ketiga (sponsor/donatur/kas umum) dan iuran didefinisikan sebagai tabarru‘ untuk pembiayaan kegiatan bersama, di mana seluruh warga memperoleh manfaat.
Haram bila hadiah murni dikumpulkan dari setoran peserta sehingga yang kalah kehilangan uang sementara yang menang memperoleh harta mereka—ini termasuk memakan harta secara batil dan masuk kategori qimār.
Jika sebagian iuran dialokasikan untuk hadiah, hukumnya tetap boleh selama: (a) akadnya adalah hibah kolektif yang tidak terkait status “kalah-menang”, (b) manfaat umum dirasakan semua pihak, dan (c) tidak ada kewajiban setoran yang difungsikan sebagai “taruhan” bagi peserta perlombaan tertentu.
Dengan demikian, penentu halal–haramnya bukan pada “ada iuran” atau “ada hadiah” semata, melainkan takyīf akad: apakah ia tabarru‘ yang berorientasi kemaslahatan bersama, ataukah ia skema perpindahan harta berbasis spekulasi yang meniru pola qimār. Jika rambu-rambu di atas dijaga, lomba 17 Agustusan dengan hadiah insya Allah mubah dan menjadi sarana ta‘āwun yang menggembirakan serta mendatangkan ukhuwah.