
Oleh: Muhammad Reza Ardhana, S.Pd
Ketika seseorang menulis puisi tentang hujan, mungkin ia sedang menulis tentang rindunya. Ketika seseorang menulis cerita pendek tentang tokoh yang berjuang melawan ketidakadilan, mungkin ia sedang berusaha menata kecewa yang tak bisa ia ucapkan. Di situlah sastra hidup dalam setiap kata yang mencoba memahami manusia.
Tapi, apa sebenarnya sastra itu? Dan untuk apa dia ada?
Sastra: Cermin Kehidupan dan Rasa
Secara etimologis, kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “ajaran” atau “petunjuk.” Artinya, sejak awal sastra memang dimaksudkan untuk mengajarkan sesuatu, namun bukan lewat logika kaku seperti rumus matematika, melainkan lewat rasa dan pengalaman batin.
Menurut Sapardi Djoko Damono, sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Sedangkan Mursal Esten menulis bahwa sastra adalah pengungkapan fakta artistik dan imajinatif tentang kehidupan manusia. Maka, membaca karya sastra sejatinya seperti bercermin: kita melihat dunia, tapi juga melihat diri kita sendiri di dalamnya.
Sastra tidak hanya berbentuk novel atau puisi di rak buku. Ia hadir dalam lirik lagu yang kamu dengar saat belajar, dalam status media sosial yang puitis, bahkan dalam ucapan ibu yang lembut ketika menasihati anaknya. Bahasa yang kita pakai setiap hari adalah bagian dari sastra. Hanya saja, sebagian besar dari kita belum menyadarinya.
Bahasa adalah ibarat rumah kita, dan sastra adalah cara kita menghiasinya dengan rasa.
Untuk Apa Sastra Ada?
Sastra tidak pernah lahir tanpa alasan. Ia hadir karena manusia butuh ruang untuk mengolah emosi, menyalakan imajinasi, dan memahami makna hidup yang tak selalu bisa dijelaskan dengan logika.
- Sastra Menghibur dan Menyembuhkan
Di tengah kesibukan, membaca karya sastra bisa menjadi jeda yang menenangkan. Ia membuat kita tertawa, menangis, atau sekadar merasa ditemani. Banyak orang menemukan kekuatan baru setelah membaca kisah tokoh yang bangkit dari keterpurukan karena lewat tokoh itu, mereka belajar tentang harapan. - Sastra Mengajarkan Nilai dan Moral
Tanpa menggurui, sastra menanamkan nilai-nilai kehidupan. Laskar Pelangi misalnya, bukan hanya cerita anak Belitung yang ingin sekolah, tetapi kisah tentang semangat, kesetiaan, dan cinta terhadap ilmu. Dari sana, kita belajar bahwa pendidikan adalah bentuk perjuangan yang paling indah. - Sastra Sebagai Perlawanan
Ya, sastra juga bisa menjadi bentuk perlawanan, bukan dengan kekerasan, tapi dengan kata-kata. Chairil Anwar menulis Aku bukan hanya karena ingin diingat, tapi karena ingin melawan keterbatasan dan penindasan zamannya. W.S. Rendra menulis puisi “Sajak Pertemuan Mahasiswa” untuk menegur kekuasaan yang lupa pada rakyatnya.
Di masa kini, bentuk perlawanan itu tetap hidup ketika seorang siswa menulis puisi tentang lingkungan yang rusak, atau seorang guru menulis esai tentang pendidikan yang kehilangan makna. Sastra mengajarkan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata paling beradab yang dimiliki manusia.
- Sastra Menumbuhkan Empati dan Kesadaran Sosial
Melalui kisah orang lain, kita belajar menjadi manusia yang lebih lembut. Ketika membaca kisah penderitaan, kita belajar berempati. Ketika membaca tentang keberanian, kita terinspirasi untuk tidak menyerah. Sastra memperluas hati kita agar tidak hanya memikirkan diri sendiri. - Sastra Menjaga Bahasa dan Identitas Budaya
Bahasa adalah jantung dari budaya. Melalui sastra, bahasa tetap hidup, berkembang, dan indah. Bayangkan jika tidak ada karya sastra — mungkin bahasa kita akan kehilangan jiwa, tinggal struktur tanpa rasa.
Bahasa dan Sastra Ada di Sekitar Kita
Banyak orang mengira sastra hanya milik buku tebal di perpustakaan atau lomba menulis puisi di sekolah. Padahal, sastra ada di mana-mana. Ia hadir dalam percakapan sehari-hari, dalam ucapan seorang ayah yang menenangkan anaknya, dalam doa yang lirih di malam hari, atau bahkan dalam slogan iklan yang penuh metafora.
Ketika seorang guru berkata, “Jangan takut salah, karena dari kesalahan kita belajar,” — itu juga sastra. Ketika seorang siswa menulis, “Aku ingin dunia tahu bahwa aku pernah berjuang,” — itu juga sastra.
Sastra adalah kehidupan yang diterjemahkan ke dalam bahasa. Dan selama manusia masih berbicara, bermimpi, dan merasa, sastra akan selalu ada.
Sastra di Tengah Dunia yang Serba Cepat
Di era digital seperti sekarang, manusia hidup dalam kecepatan — pesan singkat, komentar pendek, video singkat. Tapi di balik kecepatan itu, ada kerinduan akan kedalaman. Sastra hadir untuk memenuhi kerinduan itu. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan mendengar suara hati.
Bagi siswa, sastra bisa menjadi ruang refleksi. Membaca puisi bisa menenangkan jiwa yang gelisah. Menulis cerita bisa membantu memahami perasaan sendiri.
Bagi orang tua, sastra bisa menjadi jembatan untuk memahami generasi muda. Kadang, kata-kata dalam cerpen lebih jujur daripada percakapan sehari-hari.
Guru, siswa, dan orang tua, semuanya bisa menemukan makna lewat sastra, asal mau membuka hati.
Sastra: Tempat Jiwa Bernaung
Sastra tidak akan pernah usang, karena selama manusia masih mencari makna hidup, sastra akan selalu dicari. Ia bukan sekadar kumpulan kata, tapi cermin bagi jiwa.
Jadi, lain kali ketika kamu membaca puisi atau novel, jangan hanya mencari alur atau tema. Dengarkan detak jantungnya. Karena mungkin, di balik setiap kata, sastra sedang berbisik:
“Aku ada agar kamu tak kehilangan dirimu sendiri.”
Referensi
- Sapardi Djoko Damono. Sastra dan Masyarakat.
- Mursal Esten. Kritik dan Estetika Sastra Indonesia.
- W.S. Rendra. Potret Pembangunan dalam Puisi.
- DetikEdu. “Apa Itu Sastra, Ketahui Arti, Fungsi, dan Contohnya.”
- Badan Bahasa Kemendikbud. “Sastra, Karya, dan Perayaannya.”
- Encyclopaedia Britannica. Literature: Definition and Purpose.


