Skip to main content

Oleh : Wafiq Azizah

Di balik tembok sederhana dan lantunan kitab suci di pesantren, tertanam semangat besar yang tak pernah padam : semangat menempa diri demi membangun negeri. Santri bukan sekadar pelajar agama, melainkan agen perubahan yang lahir dari proses panjang perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian. Dalam diam mereka belajar, dalam senyap mereka mempersiapkan diri untuk mengabdi.

Hidup di pesantren mengajarkan banyak hal yang tidak ditemukan di ruang kelas biasa. Di sana, santri dilatih hidup mandiri, disiplin, dan penuh tanggung jawab. Mereka bangun dini hari, membersihkan lingkungan, memperdalam ilmu agama, dan tetap bersikap rendah hati meskipun ilmu terus bertambah.

Kesederhanaan yang mereka jalani bukan bentuk keterbatasan, tapi jalan untuk mengasah jiwa. Dari sanalah lahir pribadi yang tahan uji, tidak mudah putus asa, dan mampu berdiri kokoh di tengah ujian zaman saat ini.

Santri tidak belajar demi gelar, tapi demi kemaslahatan umat. Mereka memahami bahwa ilmu adalah amanah, dan amanah itu harus diwujudkan dalam amal nyata. Itulah mengapa para santri, setelah lulus dari pesantren, menyebar ke berbagai penjuru negeri, mengajar, berdakwah, menggerakkan masyarakat, dan menjadi teladan.

Semangat mereka sejalan dengan pepatah:

“Siapa yang bersungguh-sungguh menanam, dialah yang akan menuai.”

Santri menanam nilai, menanam akhlak, menanam keilmuan  dan pada saatnya, negeri ini akan menuai manfaat dari apa yang mereka tanam.

Peran santri dalam sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan. Sejak zaman penjajahan, para kiai dan santri turun langsung ke medan juang. Dan hari ini, semangat itu harus terus menyala. Tantangan bangsa telah berubah  bukan lagi senjata, tapi tantangan moral, sosial, dan teknologi. Santri masa kini dituntut untuk lebih adaptif, menguasai ilmu pengetahuan modern tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai penjaga nilai dan akhlak bangsa.

Pesantren hari ini berkembang menjadi pusat pemberdayaan. Banyak pesantren yang membangun unit usaha, mengembangkan pendidikan vokasi, bahkan memanfaatkan teknologi digital untuk dakwah dan edukasi. Ini menunjukkan bahwa santri bukan hanya siap berdakwah di mimbar, tapi juga berkarya di dunia nyata.

Negeri ini butuh lebih banyak santri yang terjun ke berbagai bidang: ekonomi, hukum, pendidikan, media, bahkan pemerintahan. Karena membangun negeri tidak cukup hanya dengan kecerdasan, tapi harus dengan integritas dan keberpihakan kepada umat.

Kesimpulan

Santri adalah simbol harapan. Mereka bukan hanya pewaris tradisi keilmuan Islam, tetapi juga penjaga masa depan bangsa. Dengan semangat menempa diri dan tekad membangun negeri, santri telah  dan akan terus menjadi bagian penting dari perjalanan Indonesia. Di tangan santri yang berilmu dan berakhlak, negeri ini bisa melangkah lebih maju, lebih adil, dan lebih bermartabat. Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang dibangun oleh generasi yang siap berkorban, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk tanah airnya.