Skip to main content

Oleh : Jumadin, S.H

Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam, menekankan bahwa kunci untuk mengenal Allah adalah melalui pengenalan diri. Dalam karyanya yang monumental, Kimya’ al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati manusia adalah cermin yang harus dibersihkan dari segala kotoran agar dapat memantulkan kebenaran ilahi. Ia mengibaratkan hati sebagai sebuah permata yang tertutup debu, di mana debu-debu tersebut adalah nafsu, amarah, dan sifat-sifat tercela lainnya.

Konsep Pengenalan Diri (Ma’rifat al-Nafs)

Bagi Al-Ghazali, pengenalan diri bukanlah sekadar mengetahui nama atau identitas fisik, melainkan memahami hakikat batin manusia, yaitu ruh. Ruh adalah esensi yang tidak terlihat, yang membedakan manusia dari makhluk lain dan memiliki potensi untuk terhubung dengan Tuhan. Proses pengenalan diri, atau ma’rifat al-nafs, adalah perjalanan spiritual untuk mengenali kelemahan dan kekuatan batin, serta asal-usul dan tujuan akhir kehidupan. Tujuannya adalah untuk menyadari bahwa hati adalah “rumah” Allah dan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai dengan kembali kepada-Nya.

Ia membagi manusia menjadi empat tingkatan: nafsu ammarah (nafsu yang memerintah keburukan), nafsu lawwamah (nafsu yang menyesali perbuatan buruk), nafsu muthmainnah (nafsu yang tenang dan damai), dan ruh (esensi batin yang suci). Perjalanan spiritual adalah upaya untuk mengendalikan nafsu dan memurnikan hati, sehingga ruh dapat mencapai ketenangan dan kebahagiaan abadi.

Relevansi dengan Pemikiran Prof. M. Naquib al-Attas

Pemikiran Imam Al-Ghazali mengenai pengenalan diri sangat relevan dengan konsep “Ta’dib” yang diperkenalkan oleh Prof. M. Naquib al-Attas. Al-Attas, seorang pemikir Muslim kontemporer yang mendefinisikan Islamisasi sebagai “deparuhan hati” atau pembebasan jiwa dari belenggu keraguan, kebodohan, dan ideologi yang menyimpang.

Ta’dib, yang secara harfiah berarti “pendisiplinan” atau “pembinaan”, bukanlah sekadar pendidikan formal. Al-Attas menjelaskan bahwa ta’dib adalah penanaman adab (sopan santun) dan ilmu yang benar ke dalam diri seseorang, yang pada gilirannya akan memunculkan karakter yang baik. Ia berpendapat bahwa krisis yang terjadi di dunia Muslim modern bukan hanya disebabkan oleh kebodohan, tetapi lebih pada hilangnya adab dan pemahaman yang benar tentang ilmu.

Dalam konteks ini, ma’rifat al-nafs ala Al-Ghazali adalah fondasi bagi ta’dib ala Al-Attas. Pengenalan diri adalah langkah awal untuk menyadari kelemahan dan kekosongan spiritual dalam diri, yang kemudian mendorong seseorang untuk mencari ilmu dan adab yang benar. Tanpa mengenal diri, seseorang tidak akan menyadari kebutuhannya untuk mencari kebenaran dan memperbaiki akhlaknya.

Menjadi Muslim Sejati

Kolaborasi pemikiran kedua tokoh ini menunjukkan bahwa menjadi Muslim sejati bukan hanya tentang ritual dan ibadah formal, tetapi juga tentang perjalanan batin yang mendalam. Menjadi Muslim yang mengenal diri menurut Al-Ghazali adalah proses pembersihan hati dan penyucian jiwa, yang bertujuan untuk menemukan kembali hakikat ruhaniyah dan kedekatan dengan Tuhan.

Proses ini diperkuat oleh konsep ta’dib dari Al-Attas, yang menempatkan pendidikan sebagai sarana untuk membentuk karakter dan jiwa yang beradab. Dengan mengintegrasikan kedua pemikiran ini, seorang Muslim tidak hanya akan menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga beradab secara spiritual. Pada akhirnya, seorang Muslim yang mengenal diri akan menemukan kebahagiaan sejati, tidak hanya di dunia ini, tetapi juga di akhirat [jm]