Skip to main content

Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun peradaban. Namun, realitas pendidikan di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan mendasar. Alih-alih melahirkan generasi pemimpin yang inovatif dan kreatif, sistem pendidikan kita justru masih terjebak dalam paradigma lama yang membelenggu potensi anak-anak bangsa. Ada beberapa fenomena yang seharusnya menjadi bahan perenungan bersama, baik oleh pendidik, orang tua, maupun para pembuat kebijakan.

1. Terbiasa Disuruh, Bukan Dilatih Memimpin
Anak-anak sejak dini lebih dibiasakan untuk taat perintah daripada dilatih mengambil inisiatif dan berpikir strategis. Sistem pendidikan memposisikan mereka sebagai pelaksana, bukan pemimpin. Mereka diarahkan untuk mengikuti instruksi tanpa ruang untuk mengambil keputusan. Padahal, dalam sejarah Islam, Rasulullah ﷺ sejak usia muda telah dipercaya memimpin kafilah dagang milik Khadijah. Ini bukan hanya soal kepatuhan, tetapi tentang kepercayaan terhadap potensi kepemimpinan anak muda.

Tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara, pernah menegaskan bahwa murid bukanlah objek pendidikan, tetapi subjek aktif yang harus diarahkan, bukan diperintah. Bila sejak kecil mereka tidak diberi ruang untuk memimpin dan mengambil keputusan, maka bagaimana mungkin mereka akan tumbuh menjadi pemimpin masa depan?

2. Dituntut Seragam, Tidak Diberi Ruang untuk Berbeda
Sistem pendidikan kita menuntut keseragaman: dalam seragam pakaian, cara berpikir, hingga metode belajar. Padahal, inovasi lahir dari keberanian untuk berbeda. Rasulullah ﷺ pun tidak anti terhadap pendapat berbeda. Dalam Perang Badar, beliau menerima usulan taktis dari sahabat Khabbab bin Mundzir yang menyarankan lokasi strategi perang yang berbeda dari rencana awal. Keputusan itu menjadi salah satu kunci kemenangan. Ini menunjukkan bahwa keberagaman gagasan adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Keseragaman yang dipaksakan hanya akan mematikan kreativitas. Dalam dunia pendidikan, kita butuh ruang untuk mengasah keunikan setiap peserta didik.

3. Takut Salah Lebih Besar daripada Ingin Tahu
Budaya takut salah mengakar kuat dalam sistem pendidikan kita. Anak-anak lebih diajarkan untuk menghindari kesalahan daripada menjadikan kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Alhasil, rasa ingin tahu mereka teredam. Mereka menjadi pasif, enggan bertanya, dan takut mencoba hal baru.

Padahal, Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah mencela kesalahan sahabat dalam proses belajar. Sebaliknya, beliau membimbing dengan sabar dan kasih sayang. Dalam hadisnya disebutkan, “Setiap anak Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi). Pendidikan seharusnya mendorong eksplorasi, bukan mengekang keberanian bertanya.

4. Dihargai karena Disiplin, Bukan karena Ide
Di ruang-ruang kelas, penghargaan lebih sering diberikan kepada siswa yang rajin mencatat dan patuh aturan, sementara siswa yang aktif bertanya atau menunjukkan kreativitas justru dianggap mengganggu. Kreativitas belum menjadi indikator utama keberhasilan.

Sahabat Nabi ﷺ, Zaid bin Tsabit, tidak hanya dikenal karena ketaatannya, tetapi juga karena kontribusi intelektualnya yang luar biasa dalam penghimpunan Al-Qur’an. Pendidikan yang sehat seharusnya menghargai ide, gagasan baru, dan karya nyata, bukan sekadar kepatuhan administratif.

5. Waktu Habis untuk Menghafal, Bukan Mencari Makna
Siswa kita terlalu sibuk menghafal isi buku daripada mencari makna dan pemahaman. Proses belajar cenderung teoritis dan menjauh dari realita. Seolah-olah keberhasilan hanya diukur dari jumlah hafalan, bukan pemahaman dan aplikasi nyata.

Imam Syafi’i pernah berkata, “Ilmu itu bukan yang dihafal, tapi yang memberi manfaat.” Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang mampu mengaitkan teori dengan praktik, buku dengan kehidupan nyata, kelas dengan realitas sosial.

6. Lulusan Ditargetkan Menjadi Pegawai, Bukan Pembangun Peradaban
Sistem pendidikan kita mengarahkan lulusan untuk menempuh jalur aman: menjadi pegawai. Kurikulum lebih fokus mencetak pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja. Anak-anak didorong untuk mengikuti sistem, bukan membangunnya. Ini menjadi ironi di tengah kebutuhan bangsa akan wirausahawan, inovator, dan pemikir.

Rasulullah ﷺ sebelum diangkat menjadi Nabi adalah seorang pedagang yang jujur dan mandiri secara ekonomi. Banyak sahabat yang sukses dalam dunia usaha. Seharusnya pendidikan kita menumbuhkan mental kemandirian dan semangat membangun, bukan sekadar mengejar status sosial melalui profesi birokratis.

Penutup: Saatnya Berubah
Sudah saatnya kita mengubah arah dan paradigma pendidikan kita. Pendidikan yang ideal bukan sekadar mencetak generasi yang cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh dalam kepemimpinan, kritis dalam berpikir, kreatif dalam bertindak, dan berani mengambil risiko. Pendidikan yang membebaskan pikiran, menumbuhkan keberanian untuk gagal, memberi ruang untuk berbeda, dan menanamkan nilai-nilai kemandirian serta kepemimpinan.

Tanpa perubahan ini, kita hanya akan terus mencetak lulusan yang seragam dan taat, tapi rapuh dalam kreativitas, tidak siap menghadapi dunia nyata, dan gagal menjadi pelopor perubahan bagi bangsanya.